Rabu, 29 Mei 2013

Makalah Hipertensi Lansia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penduduk Lanjut Usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup penduduk Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 1968 adalah 45,7 tahun, pada tahun 1980 : 55.30 tahun, pada tahun 1985 : 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 61,12 tahun, dan tahun 1995 : 60,05 tahun serta tahun 2000 : 64.05 tahun (BPS.2000)
Dengan makin meningkatnya harapan hidup penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan bahwa insidensi penyakit degeneratif akan meningkat pula. Salah satu penyakit degeneratif yang mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi adalah hipertensi. Hipertensi pada usia lanjut menjadi lebih penting lagi mengingat bahwa patogenesis, perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya tidak seluruhnya sama dengan hipertensi pada usia dewasa muda. Pada umumnya tekanan darah akan bertambah tinggi dengan bertambahnya usia pasien, dimana tekanan darah diastolik akan sedikit menurun sedangkan tekanan sistolik akan terus meningkat.
Penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular mengalami peningkatan resiko penyebab kematian, dimana pada tahun 1990, kematian penyakit tidak menular 48 % dari seluruh kematian di dunia, sedangkan kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal dan stroke sebanyak 43% dari seluruh kamatian di dunia dan meningkat pada tahun 2000 kematian akibat penyakit tidak menular yaitu 64 % dari seluruh kematian dimana 60% disebabkan karena penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke dan gagal ginjal. Pada tahun 2020, diperkirakan kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 73% dari seluruh kematian di dunia dan sebanyak 66% diakibatkan penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal dan stroke, dimana faktor resiko utama penyakit tersebut adalah hipertensi. (Zamhir, 2006).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab kematian dan kesakitan yang tinggi. Darah tinggi sering diberi gelar The Silent Killer karena hipertensi merupakan pembunuh tersembunyi karena disamping karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian mendadak. Sehingga kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda akan sangat membebani perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan membutuhkan waktu yang panjang, bahkan seumur hidup. (Bahrianwar, 2009)
Di Indonesia dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3% (pengkuran standart WHO yaitu pada batas tekanan darah normal 160/90 mmHg). Pada tahun 2000 prevalensi penderita hipertensi di indonesia mencapai 21% (pengukuran standart Depkes yaitu pada batas tekanan darah normal 139 / 89 mmHg). Selanjutnya akan diestimasi akan meningkat menjadi 37 % pada tahun 2015 dan menjadi 42 % pada tahun 2025. (Zamhir, 2006).
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95 % kasus. Bentuk hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial. Patogenesis pasti tampaknya sangat kompleks dengan interaksi dari berbagai variabel, mungkin pula ada predisposisi genetik. Mekanisme lain yang dikemukakan mencakup perubahan – perubahan berikut: (1). Eksresi natrium dan air oleh ginjal, (2). Kepekaan baroreseptor, (3). Respon vesikuler, dan (4). Sekresi renin. Sedangkan 5% penyakit hipertensi terjadi sekunder akibat proses penyakit lain seperti penyakit parenkhim ginjal atau aldosterronisme primer (Prince, 2005).
Beberapa organisasi dunia dan regional telah memproduksi, bahkan memperbaharui pedoman penanggulangan hipertensi. Dari berbagai strategi dapat disimpulkan bahwa penanggulangan hipertensi melibatkan banyak disiplin ilmu. Kunci pencegahan atau penanggulangan perorangan adalah gaya hidup sehat. Masyarakat juga perlu tahu risiko hipertensi agar dapat saling mendukung untuk mencegah atau menanggulangi agar tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan sampai mencegah terjadinya komplikasi. (Bahrianwar,2009).
Di Indonesia, Pemerintah bersama Departemen Kesehatan RI memberi apresiasi dan perhatian serius dalam pengendalian penyakit Hipertensi. Sejak tahun 2006 Departemen Kesehatan RI melalui Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang bertugas untuk melaksanakan pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah termasuk hipertensi dan penyakit degenaritaif linnya, serta gangguan akibat kecelakaan dan cedera. (Depkes, 2007).
Untuk mengendalikan hipertensi di Indonesia telah dilakukan beberapa langkah, yaitu mendistribusikan buku pedoman, Juklak dan Juknis pengendalian hipertensi; melaksanakan advokasi dan sosialisasi; melaksanakan intensifikasi, akselerasi, dan inovasi program sesuai dengan kemajuan teknologi dan kondisi daerah setempat (local area specific); mengembangkan (investasi) sumber daya manusia dalam pengendalian hipertensi; memperkuat jaringan kerja pengendalian hipertensi, antara lain dengan dibentuknya Kelompok Kerja Pengendalian Hipertensi; memperkuat logistik dan distribusi untuk deteksi dini faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah termasuk hipertensi; meningkatkan surveilans epidemiologi dan sistem informasi pengendalian hipertensi; melaksanakan monitoring dan evaluasi; dan mengembangkan sistem pembiayaan pengendalian hipertensi. (Depkes, 2007).
Pada usia lanjut aspek diagnosis selain kearah hipertensi dan komplikasi, pengenalan berbagai penyakit yang juga diderita oleh orang tersebut perlu mendapatkan perhatian oleh karena berhubungan erat dengan penatalaksanaan secara keseluruhan. Dahulu hipertensi pada lanjut usia dianggap tidak selalu perlu diobati, bahkan dianggap berbahaya untuk diturunkan. Memang teori ini didukung oleh observasi yang menunjukkan turunnya tekanan darah sering kali diikuti pada jangka pendeknya oleh perburukan serangan iskemik yang transient (TIA). Tetapi akhir-akhir ini dari penyelidikan epidemiologi maupun trial klinik obat-obat antihipertensi pada lanjut usia menunjukan bahwa hipertensi pada lansia merupakan risiko yang paling penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler, strok dan penyakit ginjal. Banyak data akhir-akhir ini menunjukan bahwa pengobatan hipertensi pada lanjut usia dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas.
 
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa itu hipertensi pada lansia?
1.2.2        Apa saja klasifikasi hipertensi pada lansia?
1.2.3        Bagaimana etiologi hipertensi pada lansia?
1.2.4        Seperti apa patofisiologi hipertensi pada lansia?
1.2.5        Bagaimana Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia?
1.2.6        Apa saja pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia?
1.2.7        Apa saja komplikasi hipertensi pada lansia?
1.2.8        Bagaimana penatalaksanaan hipertensi pada lansia?
1.2.9        Bagaimana Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia?

1.3  Tujuan
1.3.1        Tujuan Umum
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit hipertensi pada lansia.

1.3.2        Tujuan Khusus
1.3.2.1  Untuk mengetahui pengertian hipertensi pada lansia.
1.3.2.2  Untuk mengetahui klasifikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.3  Untuk mengetahui etiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.4  Untuk mengetahui patofisiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.5  Untuk mengetahui Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia.
1.3.2.6  Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia.
1.3.2.7  Untuk mengetahui komplikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.8  Untuk mengetahui penatalaksanaan hipertensi pada lansia.
1.3.2.9  Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia.

1.4  Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Hipertensi pada lansia.




BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Pengertian Hipertensi Pada Lansia
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik yang intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 1996)

2.2.  Klasifikasi Hipertensi Pada Lansia
2.2.1.      Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1.      Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak, yaitu sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat keluarga,obesitas,diit tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor pendukung. Walaupun faktor genetik sepertinya sangat berhubungan dengan hipertensi primer, tapi mekanisme pastinya masih belum diketahui.

2.      Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang terindentifikasi lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi renovaskuler, feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan obat-obatan, yaitu sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.

2.2.2.      Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 7
Kategori
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Optimal
Normal
115 atau kurang
< 120
75 atau kurang
< 80
Prehipertensi
120-139
80-89
Hipertensi stage I
140-159
90-99
Hipertensi stage II
≥ 160
≥ 100

Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat dibedakan:
·         Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12% penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring bertambahnya umur.
·         Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14% penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring bertambahnya umur.
·         Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60th, lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.

2.3.  Etiologi Hipertensi Pada Lansia
Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti obesitas asupan garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat dikontrol, antara lain:
a.         Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria atau wanita pasca menopause.
a.       Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause.

b.      Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi sering terjadi pada usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri.

c.       Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.

b.        Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1.      Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.

2.      Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri.

3.      Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.

4.      Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.

5.      Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.

6.      Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
7.      Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.








2.4     
2.5    Tanda Dan Gejala Hipertensi Pada Lansia
Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering tidak memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun

2.6  Pemeriksaan Penunjang Hipertensi Pada Lansia
a.           Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
b.        BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
c.         Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).
d.        Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
e.         Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.
f.         Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya    pembentukan plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
g.        Pemeriksaan tiroid.
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.
h.        Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).
i.          Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
j.          Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.
k.        Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
l.          IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu ginjal / ureter.
m.      Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.
n.        CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
o.        EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.

2.7    Komplikasi Hipertensi Pada Lansia
Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering ditemukan, dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.
a.      Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler
Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan dinding  ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk, kapasitasnya membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina pektoris dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri koronaria dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena penambahan massanya. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel kiri yang menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat) sering terdengar pada penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau irama gallop mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram, ditemukan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi iskemi dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi disebabkan oleh infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data terbaru menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai oleh aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi dibandingkan hanya oleh peningkatan tekanan darah atau kadar angiotensin II.

b.        Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan optalmoskopik berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak hipertensi pada pembuluh darah retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi. Sakit kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga ditemukan ’keleyengan’, kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan menurun atau sinkope, tapi manifestasi yang lebih serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan atau ensefalopati. Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark serebri terjadi secara sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada pasien hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat dari peningkatan tekanan darah dan perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri (aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya umur dan tekanan arterial diketahui berpengaruh terhadap perkembangan mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri atau transient ischemic attack.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan, eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.

c.         Efek pada Ginjal
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga sering terjadi pada pasien-pasien ini.

2.8    Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia
Lebih dari 10 tahun yang lalu masih terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya pengobatan hipertensi pada usia lanjut. Golongan yang kontra menyatakan bahwa penurunan tekanan darah pada hipertensi lansia justru akan menyebabkan kemungkinan terjadinya trombosis koroner, hipotensi postural dan penurunan kualitas hidup. Dengan penelitian-penelitian yang diadakan dalam 10 tahun terakhir ini jelas dibuktikan bahwa menurunkan tekanan darah pada hipertensi lansia jelas akan menurunkan komplikasi akibat hipertensi secara bermakna.
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena kebanyakan penderita hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan mencapai target tekanan diastol saat target tekanan sistol sudah dicapai, sehingga fokus utamanya  adalah mencapai target tekanan sistol. Penurunan tekanan sistol dan diastol < 140 / 90 mmHg berhubungan dengan penurunan terjadinya komplikasi stroke, dan pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus, target tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :
1.    Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kausal.
2.    Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
3.    Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat antihipertensi.
4.    Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin seumur hidup.
5.    Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi dasar pengobatan hipertensi.

Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :
a.    Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
b.    Interaksi obat
c.    Efek samping obat.
d.   Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal.

Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh terhadap kondisi penderita adalah :
a.    Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.
b.     Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.
c.    Organ yang rusak karena hipertensi.

Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan obat antihipertensi, yaitu:
1.        Mempunyai efektivitas yang tinggi
2.        Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau minimal
3.        Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4.        Tidak menimbulkan intoleransi
5.        Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.
6.        Memungkinkan penggunaan obat dalam jangka panjang 

Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat antihipertensi mengalami kegagalan, yang  dapat  disebabkan oleh hal-hal di bawah   ini :
1.    Ketidakpatuhan penderita
2.    Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium, kerusakan ginjal, dan kurangnya pemberian diuretik
3.    Obesitas
4.    Dosis yang tidak adekuat
5.    Interaksi obat
6.    Kontrasepsi oral
7.    Penggunaan obat-obat steroid
8.    Hipertensi sekunder


Klasifikasi dan Managemen Tekanan Darah untuk Dewasa *
BP Classification
SBP (mmHg) *
DBP (mmHg) *
Lifestyle Modification
Initial Drug Therapy
Without Compelling Indication
With Compelling Indication
Normal
< 120
and < 80
Encourage


Prehypertension
120-139
or 80-89
Yes
No antihypertensive indicated
Drug(s) for compelling indications.
Stage I Hypertension
140-159
or 90-99
Yes
Thiazide-type diuretics for most. May consider ACEI , ARB, BB , CCB or combination.
Drug(s) for the compelling indications.
Other antihypertensive drugs (diuretics, ACEI, ARB, BB, CCB) as needed.
Stage II Hypertension
≥ 160
≥ 100
Yes
Two-drug combination for most (usually thiazide-type diuretic and ACEI or ARB or  BB or CCB)
SBP : Systolic Blood Pressure
DBP : Diastolic Blood Pressure.
Drug abbreviations : BP :
ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB : Angiotensin Receptor Blocker
CCB : Calsium Channel Bloker.
BB : Beta-Bloker
* Treatment determined by highest BP category.
Initial combined therapy should be used cautiously in those at risk for orthostatic hypotension.
‡  Treat patients with chronic kidney disease or diabetes or BP goal < 130/80 mmHg
2.8.1   Konsep Penatalaksanaan Hipertensi Terkini
Joint National Committee VII merekomendasikan konsep terapi yang terbaru yaitu :
a.       Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan darah diastolic 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan nonfarmakologis dengan cara modifikasi gaya hidup.
b.      Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan penatalaksanaan secara farmakologis dengan diberikan obat golongan diuretik atau bisa juga diberikan obat dari golongan lain.
c.       Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya harus dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun tekanan darah diastoliknya tidak.
d.      Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi antihipertensi, salah satunya adalah obat dari golongan diuretik tiazid.
e.       Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan untuk mencapai tekanan darah ± 20/10 mmHg di atas tekanan darah yang diinginkan.
f.       Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan diuretic masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien dengan hipertensi yang sudah mengalami komplikasi penyakit jantung.

Bila hipertensi yang terjadi tanpa disertai dengan komplikasi atau penyakit penyerta lain, maka pengobatan adalah mudah.  Penatalaksanaan untuk hipertensi dibagi menjadi :
1.      Non Farmakologis atau modifikasi gaya hidup.
2.      Farmakologis








A.  Non farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi :
                        Kriteria Indeks Massa Tubuh
Kriteria
IMT (kg/m2)
Kurang
<18,5
Normal
18,5-24,9
Berat badan lebih
25,0-29,9
Obesitas
30,0-34,9
Obesitas berat
≥ 35,0

·      Jaga berat badan ideal. Turunkan berat badan bila IMT ≥ 27
·      Membatasi alkohol.
·      Olahraga teratur sesuai dengan kondisi tubuh.
·      Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na, atau 2.4 g Na , atau 6 g NaCl/hari)
·      Mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari), kalsium dan magnesium yang adekuat.
·      Berhenti merokok.
·      Kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.

Modifikasi Gaya Hidup Penatalaksanaan Hipertensi *†
Modification
Recommendation
Approximate SBP Reduction (Range)
Weight reduction
Maintain normal body weight (BMI 18,5 – 24,9 kg/m2)
5-20 mmHg / 10 kg weight loss
Adopt DASH eating plan
Consume a diet rich in fruits, vegetables and low fat dairy products with a reduced content of saturated and total fat
8-14 mmHg
Dietary sodium reduction
Reduced dietary sodium intake to no more than 100 mmol per day (2,4 g sodium or 6 g sodium chloride)
2-8 mmHg
Physical activity
Engage in regular aerobic physical activity such as brisk walking (at least 30 min per day, most days of the week)
4-9 mmHg
Moderation of alcohol consumption
Limit consumption to no more than 2 drinks (1 oz or 30 ml ethanol; e.g. 24 oz beer, 10 oz wine, or 3 oz 80-proof whiskey) per day in most men and to no more thsn 1 drink per day in women and lighter weight persons
2-4 mmHg
DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension
* For overall cardiovascular risk reduction, stop smoking.
† The effects of implementing these modifications are dose and time dependent, and could be greater for some individuals.

B.       Farmakologis :
Obat-obat Antihipertensi :
1.      Diuretik
§    Cara kerja : meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga volume plasma dan cairan ekstrasel.
§    Untuk terapi jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi resistensi perifer.
§    Terdapat beberapa golongan, yaitu :
a.       Diuretik Tiazid dan sejenisnya (paling luas digunakan) , contoh :
-            Hidroklorotiazid (HCT) – tab 25 dan 50 mg
-            Klortalidonn – tab 50 mg
-            Bendroflumentiazid – tab 5 mg
-            Indapamid – tab 2,5 mg
-            Xipamid – tab 20 mg
b.      Diuretik kuat :
a.         Furosemid – tab 40 mg
c.       Diuretik hemat kalium :
a.        Amilorid – tab 5 mg
b.        Spironolakton – tab 25 dan 100 mg
§    Efek samping : hipotensi dan hipokalemia.

2.      Penghambat Adrenergik
§    Efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung, serta menurunkan sekresi renin
§    Kontraindikasi bagi pasien gagal jantung kongestif
§    Terdiri dari golongan :
-        penghambat adrenoreseptor α / α –bloker : terazosin, doxazosin, prazosin
-        penghambat adrenoreseptor β / β-bloker : propanolol, asebutolol, atenolol, bisoprolol
-        penghambat adrenoreseptor α dan β  : labetalol
-        adrenolitik sentral : klonidin, metildopa, reserpin, guanfasin
3.      Vasodilator
§    Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos yang akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah
§    Yang termasuk golongan ini adalah natrium nitroprusid, hidralazin, doksazosin, prazosin, minoksidil, diaksozid.
§    Yang paling sering digunakan adalah natrium nitroprusid dengan efek samping hipotensi ortostatik.

4.      Penghambat Enzim Konversi Angiotensin
§    Bekerja menghambat sistem renin-angiotensin, menstimulasi sintesis prostaglandin dan juga mengurangi aktivitas saraf simpatis
§    Preparat yang paling banyak digunakan adalah Kaptopril, diberikan 1 jam sebelum makan.  Pada gagal ginjal dosis dikurangi (bila CCT > 1.5 mg%).
§    Efek samping : batuk kering , eritema, gangguan pengecap, proteinuria, gagal ginjal dan agranulositosis.

5.                       Antagonis Kalsium
§    Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara menyebabkan vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang nyata dan retensi cairan yang kurang daripada vasodilator lainnya.
§    Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin, felodipin, amilodipin, verapamil dan diltiazem.
6.      Antagonis Reseptor Angiotensin II (AIIRA / ARB)
§    Merupakan golongan obat antihipertensi terbaru, tidak mempengaruhi produksi Angiotensin II tetapi memblok di tempat kerja pada organ target.
§    Kelebihannya adalah tidak menimbulkan batuk karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin. 
§    Proses apoptosis dan regenerasi jaringan juga tetap berlangsung karena reseptor tidak dipengaruhi.

Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia :
§  Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START LOW GO SLOW)
§  Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
§  Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari
§  Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
§  Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan
§  Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali untuk maintenance (Gambar 2)

Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila terdapat kelainan target organ. Oleh karena fungsi ginjal telah menurun dan terdapat gangguan metabolisme obat, sebaiknya dosis awal dimulai dengan dosis yang lebih rendah. Pada hipertensi tanpa komplikasi golongan diuretik dosis rendah (HCT 12,5 – 25 mg atau setara) yang dikombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat diberi sebagai pengobatan awal. Obat anti hipertensi lain dapat diberikan atas indikasi spesifik.
Pada pasien dengan payah jantung, obat penghambat ACE dan diuretik merupakan obat pilihan pertama. Tetapi pada pemberian diuretika sering menimbulkan efek hipokalemia dan hiponatremia karena kedua mineral tadi ikut terbuang bersama urine.
Pada pasien pascainfark miokard, pemakaian penyebat β yang kardioselektif dianjurkan. Akan tetapi pada umumnya pemakaian penyekat β tidak begitu disukai oleh karena menimbulkan perburukan penyakit vaskuler perifer dan bronkospastik. Penghambat α merupakan pilihan pada pasien dengan dislipidemia dan hipertrofi prostat, akan tetapi harus hati-hati terhadap efek hipotensi ortostatik, karena hal ini dapat menyebabkan lansia jatuh bahkan sampai mengalami komplikasi fraktur.
Antagonis kalsium jangka panjang cukup efektif, terutama karena mempunyai efek natriuretik dan dianjurkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Pada pasien dengan diabetes dan proteinuria diindikasikan pemakaian obat penghambat ACE.
Obat simpatolitik sentral seperti metildopa, klonidin dan guanfasin walaupun efektif, pemakaiannya kurang dianjurkan pada usia lanjut karena efek samping sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Dan obat-obat yang mempunyai pengaruh pada susunan saraf pusat, α dan ß bloker dapat mengakibatkan depresi serta penurunan kesadaran/fungsi kognitif.
Pemberian antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia terdapat :
§  Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi ortostatik.
§  Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
§  Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
§  Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.
§  Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan otot.
§  Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang ada pada lansia itu.  Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri mempunyai efek samping yang dapat memperberat gejala penyakit komorbid.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan labetolol sebaiknya dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati, tekanan darah diturunkan perlahan-lahan dengan cara memberi dosis awal yang lebih rendah dan peningkatan dosis yang lebih kecil dengan interval yang lebih panjang dari biasanya pada penderita yang lebih muda, dan pilihan antihipertensi harus secara individual, berdasarkan pada kondisi penyerta.
Tahap-tahap yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil adalah :
1.        Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali dan kalau perlu lebih dari 1 kali kunjungan)
2.        Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya hipertensi dan makna serta manfaat bila tekanan darah dapat dinormalkan.
3.        Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan maupun masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi hipertensi.
4.        Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.
5.        Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan darah pasien hipertensi.
6.        Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik dan yang dapat dimakan sekali sehari.

Terapi Kombinasi
Biasanya bila terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai sasaran, maka perlu ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan tidak meningkatkan dosis obat pertama.  Hal ini adalah upaya untuk memaksimalkan efek penurunan tekanan darah dengan efek samping seminimal mungkin.  Pada penelitian HOT, terapi kombinasi diperlukan pada sekitar 70% penderita.  Dalam JNC-VII, para ahli bahkan menganjurkan terapi antihipertensi kombinasi langsung pada penderita yang ada pada stadium 1.  Walaupun dosis campuran tetap banyak disediakan oleh pabrik farmasi, upaya titrasi dosis secara individual dianggap lebih baik. Berikut diberikan  pedoman yang dianut oleh para ahli hipertensi di Inggris yang disebut sebagai The Birmingham Hypertension Square.

The Birmingham Hypertension Square

ACE Inhibitor atau Bloker Reseptor Angiotensin II
Nasihat nonfarmakologik : garam, berat badan, alkohol, olahraga, rokok
Diuretik

Tiazid
 











Bloker Kanal Kalsium golongan dihidropiridine

β-Bloker
 





Mulai terapi pada kotak manapun dan gunakan terapi tambahan dengan obat yang ditunjuk oleh panah. Obat-obatan pada kotak yang berdekatan memiliki efek antihipertensi tambahan, aksi yang saling melengkapi dan biasanya ditoleransi dengan baik.


2.9    Asuhan Keperawatan Hipertensi Pada Lansia

No
DIAGNOSA
NOC
NIC
RASIONAL
1
Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan tekanan intra kranial
Tujuan: Menghilangkan rasa nyeri
Kriteria hasil :
·         Melaporkan ketidakyamanan hilang atau terkontrol.
·         Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan.

Intervensi :
·         Pertahankan tirah baring selama fase akut.


·         Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher.


·         Hilangkan/ minimalkan aktifitas vasokontraksi yang dapat meningkatkan sakit kepala, misalnya batuk panjang, mengejan saat BAB.

·         Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.





·         Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas, diazepam dll.


·         Meminimalkan stimulasi dan meningkatkan relaksasi.

·  Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral,efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya.




·         Aktifitas yang meningkatkan vasokontraksi menyebabkan sakit kepala pada adanya peningkatan vaskuler serebral.



·         Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang memperberat kondisi klien.

·         Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf simpatis.

2
pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi inadekuat
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi

Kriteria hasil:
·         Klien menunjukkan peningkatan berat badan
·         Menunjukkan perilaku meningkatkan atau mempertahankan berat badan ideal
Intervensi:
·         Bicarakan pentingnya menurunkan masukan lemak, garam dan gula sesuai indikasi.













·         Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet. 



·         Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasuk kapan dan dimanamakan dilakukan, lingkungan dan perasaan sekitar saat makanan dimakan.



·         Intruksikan dan bantu memilih makanan yang tepat, hindari makanan dengan kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan kolesterol (daging berlemak, kuning telur, produk kalengan, jeroan).

·         Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.
 

·         Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya atero sklerosis, kelebihan masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan dapat merusak ginjal yang lebih memperburuk hipertensi.

·         Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diit terakhir.

·         Memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan dan kondisi emosi saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian pada factor mana pasien telah/dapat mengontrol perubahan.

·         Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam mencegah perkembangan atero genesis.









·         Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet individual

3
Intoleransi aktifitas b.d kelemahan umum.
Tujuan : tidak terjadi Intoleransi aktifitas.

Kriteria Hasil :
·         Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan atau diperlukan
·         Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.

Intervensi :
·         Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter : frekwensi nadi 20x/menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD, dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat, pusing atau pingsan.

·         Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.

·         Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.













·         Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.


·         Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.

·         Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap stress, aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja jantung.








·          Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.







·         Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.

·         Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

·          Jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.


4
Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh darah.

Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah jantung

Kriteria Hasil :
·         Klien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah/beban kerja jantung
·         Mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat diterima,
·         Memperlihatkan normal dan frekwensi jantung stabil dalam rentang normal pasien.
Intervensi:
·         Observasi tekanan darah.









·         Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer












·         Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas.














·         Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.




·         Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas atau keributan ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal.

·         Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi.





·         Kolaborasi dengan dokter dalam pembrian terapi anti hipertensi dan diuretik.

·         Perbandingan dari tekanan darah memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang keterlibatan vaskuler.

·         Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati saat palpasi. Denyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokontriksi dan kongesti vena.

·         ICS4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi atrium, perkembangan ICS3 menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels, mengidapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap terjadinya atau gagal jantung kronik.

·         Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat mencerminkan dekompensasi/penurunan curah jantung.

·         Membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi.






·         Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek tenang,sehingga akan menurunkan tekanan darah.

·         Menurunkan tekanan darah.






















BAB III
PENUTUP

3.1          Kesimpulan
Dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia, kejadian hipertensi pada populasi ini meningkat pula. Meningkatnya tekanan darah sudah terbukti meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut. Salah satu karakteristik hipertensi pada usia lanjut adalah terdapatnya berbagai penyakit penyerta (komorbid) dan komplikasi organ target, seperti kejadian penyakit kardiovaskuler, ginjal, gangguan pada sistem saraf pusat dan mata. Dengan menurunkan tekanan darah sampai target 140/90 mmHg dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
 Selain diagnosis yang sangat teliti, tatalaksana hipertensi pada usia lanjut harus juga memperhatikan kedua hal tersebut di atas. Penatalaksanaan hipertensi pada lansia tidak berbeda dengan penatalaksanaan hipertensi pada umumnya, yaitu merubah pola hidup dan pengobatan anti hipertensi. Dan saat ini berbagai pilihan obat-obat anti hipertensi telah beredar di pasaran. Pemakaian berbagai obat tersebut bisa disesuaikan dengan penyakit komorbid yang menyertai keadaan hipertensi tersebut.










DAFTAR PUSTAKA



1.      Chobanian A . 2003. JNC VII Report 18th Annual Scientific Meeting and Exposotion of American Society of Hypertension. New York, USA.
2.      Martono, H. (2004). Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut, Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
3.      Geratosima, Salma 2004. Buku Ajar GERIATRI (ilmu kesehatan usia lanjut) edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4.      Ganiswarna S., et al. 1995. Farmakologi & Terapi Edisi 4. Jakarta  : Balai Penerbit FKUI.
5.      Stanley, Mickey. 2007.  Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC.
6.      Stocklager, Jaime L. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatric Edisi 2. Jakarta : EGC.
7.      Kowalski, Robert E. 2010. Terapi Hipertensi. Bandung : Mizan Pustaka.
8.      Nugroho, Wahjudi. 2000 . Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.



1 komentar: